Bagimu, kehidupan adalah mendaki. Memanjat setiap jengkal keinginan dan sesekali meninggalkan makna pada jejak langkah. Agar kami bisa tahu kemana saja kau pergi. Agar kami bisa menelusuri waktu saat kau masih dalam genggaman waktu itu. Sedangkan aku? Aku masih terus mengenang. Merenungi gunung dan pantai. Barang kali masih ada jejakmu yang belum sepenuhnya kupahami. Barang kali jejak-jejak kaki akan membawaku menuju dimana kau berada: surga.
Pada catatan-catatan tentang waktu. Mungkin itulah jejak terakhirmu. Jejak terakhir yang mengantarkanku pada perasaanmu. Kerumitan yang kau tulis begitu indah. Tapi jika boleh kusederhanakan saja, maka aku akan bertanya: kau mencintaiku kan?!
Mereka memperbincangkan kenangan-kenangan mereka denganmu. Mereka menyanyikan kehilangan-kehilangan. Tapi apakah kau tahu, aku juga merasakan kehilangan itu. Hanya aku tak bisa mengungkapkannya dengan sempurna.
Bahwa anak kecil itu tak punya masa lalu. Kiranya kau ingin selalu seperti itu. Maka kau mendaki. Menjumpai segala wujud yang baru di depanmu, -hiduplah seperti anak kecil itu-. Namun saat aku dan mereka semua begitu lama menunggu, kau tak juga pulang pada kami, masa lalumu. Benarkah kau sudah tak sudi bertemu masa lalu?
Kau terus mendaki, tapi tahukah kau mendaki terlalu tinggi? Sedang kami, masa lalumu, terus memanggilmu untuk kembali ke dalam hati. Kembalilah. Kembalilah. Tapi nyatanya ada saat-saat dimana kau tak bisa menghentikan langkahmu lagi. Ada saat-saat kau melangkah tanpa henti.
Akhirnya kau mengajarkan pada kami tentang akhir dari mendaki. Bahwa kita hanya harus terus berjalan membawa segenggam nafas yang masih tersisa. Hingga kita berjumpa pada petualangan yang sesungguhnya, setelah hembusan itu terhenti. Dan tak ada yang sia-sia.
Pada catatan yang kau tinggalkan itu, kau tulis sebait puisi yang sempurna. Tentang kopi yang terus menerus kumaknai, ternyata kau telah menulis penggalannya bertahun-tahun lalu. Tentang kehidupan yang ingin kutulis, ternyata kau telah menuliskannya sejak bertahun-tahun itu.
Pada halaman mukadimah itu, kau berkata: bantu aku menulis, bantu aku bersuara. Andai aku bisa berbalas kerumitan denganmu. Andai kata-kataku mampu menemani kata-katamu yang rumit dan sendiri.
Dan kau berkata, marilah merasa senang menjadi manusia. Marilah menikmati kejutan petualangan. Kau tahu, segala bentang kehidupan yang telah kumaknai kalah oleh dua kalimatmu itu. Dalam petualangan paling sedih, kau telah bergembira menjadi manusia. Dalam petualangan yang paling sedih, kau tak gentar mengembara.
Andai kau tahu, aku ingin menemanimu dalam sebuah perjalanan sederhana. Menikmati indahnya lekuk-lekuk kota dan senyummu. Hingga aku bisa mengerti setiap sorot bahagia dari pilihan hidup yang kau jalani. Aku hanya ingin menemanimu. Menjadi teman kecilmu yang berbagi senyum ceria.
Dan sebuah lagu. Pada lirik lagu yang mestinya kau nyanyikan untukku. Kau telah menyukainya bertahun-tahun sebelum aku tergila-gila dengan lagu itu. Maka kini, kau lah masa lalu itu. Masa lalu yang bernyanyi dan menghamparkan cerita-cerita. Untukmu, aku bernyanyi.
“I’m not crazy, I’m just a little unwell
I know right now you can’t tell
But stay awhile and maybe then you’ll see
A different side of me
I’m not crazy, I’m just a little impaired
I know right now you don’t care
But soon enough you’re gonna think of me
And how I used to be”